
pojokmedia.com/ — Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik se-Indonesia (FKMPI) menggelar Sarasehan Nasional (Sarnas) 2025 di Politeknik Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 12–15 Juni 2025. Lebih dari sekadar agenda tahunan, forum ini dimaknai sebagai konsolidasi nasional untuk menguatkan posisi mahasiswa politeknik dalam gerakan sosial dan kontribusi pembangunan di tingkat akar rumput.
Mengusung semangat pengabdian langsung ke masyarakat, Sarnas kali ini menyoroti pentingnya transformasi peran mahasiswa politeknik dari sekadar agen perubahan menjadi pelaku aktif di tengah problematika riil masyarakat.
“FKMPI bukan sekadar ruang demonstrasi. Kami hadir di tengah-tengah masyarakat, dari persoalan air bersih hingga pendampingan teknologi tepat guna,” ujar Sekretaris Jenderal FKMPI, Muhammad Rifai saat membuka forum.
Rifai mencontohkan aksi nyata anggota FKMPI di Balikpapan yang membantu penyediaan air bersih bagi warga sekitar kampus. Menurutnya, inisiatif-inisiatif lokal seperti ini mencerminkan arah baru gerakan mahasiswa politeknik lebih solutif, terorganisir, dan dekat dengan kebutuhan masyarakat.
Sejak berdiri pada 12 September 1998 di Semarang, FKMPI telah menjelma sebagai wadah koordinasi nasional antar-lembaga kemahasiswaan politeknik. Organisasi ini kini memiliki jaringan di 158 kampus politeknik, tersebar dalam enam wilayah dan 20 daerah eksekutor di seluruh Indonesia.
“Indonesia tidak hanya dibangun oleh obor besar di Jakarta, tetapi oleh lilin-lilin kecil yang menyala di pelosok desa. Demikian pula FKMPI, kuat bukan karena hirarki, tapi karena keberdayaan di tingkat daerah,” ujar Rifai.
Sarasehan ini juga menjadi ruang evaluasi setengah periode kepengurusan nasional FKMPI. Selain membahas strategi penguatan internal organisasi, forum ini menyoroti peluang kemitraan dengan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan pembangunan yang lebih inklusif.
Dalam forum tersebut, sejumlah peserta mendorong agar FKMPI lebih vokal dalam isu-isu strategis seperti pendidikan vokasi, ketenagakerjaan, hingga ketimpangan digital antarwilayah. Mereka menilai peran mahasiswa politeknik seharusnya tidak dibatasi ruang laboratorium, tetapi ikut merumuskan arah pembangunan berbasis keahlian terapan.