pojokmedia.com/ — Penolakan terhadap pendirian rumah ibadah kembali terjadi di Kota Samarinda. Kali ini menimpa Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang. Menanggapi situasi tersebut, Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Kalimantan Timur (DPD GAMKI Kaltim) mendesak negara hadir dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas.

Aksi penolakan teranyar tercatat pada Sabtu, 25 Mei 2025. Sejumlah spanduk yang menolak keberadaan gereja ditemukan terpasang di beberapa titik strategis, antara lain di bawah Flyover Mahakam IV, kawasan Gapura Jalan Abdul Sani Gani, hingga sekitar RT 24, lokasi yang berdekatan dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut.

Menurut GAMKI Kaltim, peristiwa ini bukan kali pertama terjadi. Penolakan serupa telah muncul sebelumnya pada 19 Agustus dan 20 September 2024.

“Ini adalah bentuk nyata dari tindakan diskriminatif dan intoleran. Bertentangan dengan konstitusi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai Pancasila yang kita junjung bersama,” ujar Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga DPD GAMKI Kaltim, Mangara Tua Silaban, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa (3/6/2025).

DPD GAMKI Kaltim mengeluarkan lima poin pernyataan sikap. Mereka mengecam keras aksi intimidasi terhadap jemaat Gereja Toraja dan mendesak pemerintah, terutama Gubernur Kalimantan Timur dan Wali Kota Samarinda, agar proaktif memfasilitasi pendirian rumah ibadah sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Mereka juga meminta aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap segala bentuk pelanggaran yang berbau intoleransi. Selain itu, GAMKI mengimbau Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) baik di tingkat provinsi maupun kota agar berperan aktif dalam menjaga perdamaian dan menjamin hak atas kebebasan beragama.

“Menjaga keberagaman bukan hanya tugas kelompok tertentu, tapi tanggung jawab kolektif kita semua sebagai warga negara,” tegas Mangara.

GAMKI merujuk pada sejumlah instrumen hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia, termasuk Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak pemerintah daerah maupun FKUB terkait penolakan ini.